LURAH KORUP (Tulisan seri kemerdekaan oleh Arpan Parutang)

“Tetapi, orang tak bisa berkhianat selamanya dan dalam segala hal. Bisakah engkau jahat dalam segala hal?,” Pramudya Ananta Toer dalam Novel Perburuan

Korupsi adalah penghianatan terbesar dalam merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Korupsi dalam bentuk apapun dan oleh siapapun adalah akar kehancuran dan perpecahan dalam berbangsa dan bernegara. Sayangnya, budaya korup ini bukan cerita baru di negara kita, sebab sebelum kemerdekaan diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta, kisah korup telah ada pada para pejabat pribumi pilihan VOC maupun Belanda.

Menurut Lord Acton “power tends to corrupt absolute power corrupt absolutely”, memang merupakan akar dari segala masalah korupsi ini, dalam segala bentuk, baik itu korupsi nyata berupa harta, tahta dan senggama, atau korupsi semu seperti waktu dan pengaruh. Menurut Emha Ainun Najib,seperti yang dikutip oleh Erlina Wiyanarti dalam jurnalnya yang berjudul “Korupsi pada masa VOC dalam Multiperspektif”, bahwa sangat tidak mudah mengambil keputusan apakah korupsi adalah hanya milik para koruptor ataukah milik kita bersama,Betapa tidak, kasus bisa muncul dari mulai tataran kepala desa hingga wilayah parlemen yang terhormat bahkan dari lembaga yang dimuliakan yang diharapkan sebagai institusi pahlawan penjaga gawang terakhir keadilan, Mahkamah Agung Republik kita tercinta ini , tidak luput dari virus yang bernama korupsi. Dan kata kunci dari subjek pelaku korup, jika menukil pendapat Lord Acton, adalah power, atau setidaknya orang yang memilikinya.

Menurut Emha Ainun Najib, pemilik power terendah dalam tatanan masyarakat sipil seperti di Indonesia adalah Kepala Desa/Kelurahan yang cenderung memiliki kemampuan untuk korup. Pendapat ini tidak berlebihan karena berita dan fakta yang dapat dengan mudah diakses tentang perilaku korup pada pejabat penanggung jawab wilayah terendah ini, apalagi dengan adanya Dana Desa, dan program Dana Kelurahan yang dirancang oleh pemerintah. Data Indonesian Corupption Watch (ICW) bahwa pada tahun 2021, setidaknya korupsi Dana Desa tercatat member kerugian negara sebesar Rp.233 Milyar dalam 154 kasus korupsi. Ini belum termasuk kasus korupsi pada Dana Kelurahan. Bahkan jika dilihat dari akar kata korupsi dalam Bahasa Belanda, yaitu korruptie yang berarti perilaku tidak bermoral atau tidak jujur, maka kasus korupsi bisa lebih banyak dari itu.

Menurut Historia, dalam tulisannya yang berjudul “Berebut jadi Tuan Bek”, ketika Jan Pieterszoon Coen membangun Batavia, ia memilih pribumi untuk jabatan rendah wijkmeester, atau orang yang bertugas mengepalai sebuak wijk, sebuah wilayah setingkat kelurahan jika pada saat ini. Model lelang jabatan yang diterapkan oleh Coen, menjadi bahan rebutan oleh puluhan orang, yang tentu saja sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Seorang wijkmeester yang terpilih biasanya bertugas untuk member layanan administrasi surat meyurat kepada warga, bertanggung jawab terhadap kebersihan dan keamanan lingkungan dan terutama memungut pajak, persis seperti tugas Lurah saat ini. Walau jabatan wijkmeester ini rendah, tapi pemerihtan kolonial Belanda sangat paham bagaimana mengadu domba pribumi dengan sedikit memberikan kewenangan dan memfasilitasi perilaku korup, selama perilaku korup itu bisa melanggengkan kekuasannya pemerintah kolonial. Lelang jabatan wijkmeester  menurut Historia, membuat peminatnya punya nazar macam-macam jika terpilih. Dan ini salah satu model lurah korup jaman pemerihtanan kolonial Belanda.

VOC sebagai kongsi dagang yang disuport oleh pemerintahan Kolonial Belanda, sangat tahu caranya memanfaatkan pejabat-pejabat pribumi terutama yang ditingkat rendah. Dengan menawarkan gaya hidup yang mewah dan kesetaraaan status sosial, VOC memaksa pejabat-pejabat pribumi untuk berlaku korup, dan lebih buruk lagi, berlaku arogan dengan menindas rakyatnya. Clive Day, seperti yang termuat pada jurnal Erlina Winayarti, mencontohkan kasus pemerasan oleh pejabat pribumi yang difasilitasi oleh VOC, yaitu tentang penetapan harga kopi yang diangkut ke Batavia, dimana harga kopi yang ditetapkan oleh VOC dipotong 20% untuk Bupati, 20% untuk lurah, 20% untuk biaya administrasi, dan 20 % untuk ongkos angkutan ke gudang di Batavia. Selain fasilitas  kesempatan yang diberikan oleh VOC, para pejabat pribumi juga difasilitasi dengan pinjaman untuk gaya hidup hedon, sehingga terkadang pejabat pribumi tidak sanggup untuk mengembalikan pinjaman tersebut, dan koruplah menjadi jalan keluarnya.

Tetapi pada akhirnya VOC hancur juga, keruntuhan VOC juga tidak lepas dari perilaku korup para pimpinan dan karyawannya. Sebagai sebuah perusahaan dagang besar, VOC sebenarnya memiliki kode etik dan aturan untuk karyawannya, tetapi dengan omset dan cakupan usaha yang begitu luas, serta personel yang tidak bermutu tinggi, lambat laun VOC mulai menggali kuburnya sendiri. Sampai pada 31 Desember 1799, kongsi dagang yang mungkin salah satu terbesar di dunia inipun bubar. Namun, bubarnya VOC tidak menghapus budaya korup yang mereka tinggalkan, terutama dikalangan pejabat pribumi, dari yang tertinggi sampai lurah, bagian terendah dari perwakilan pemerintah di masyarakat. Presiden Korup memang menyakitkan, tapi lurah korup, lebih menyakitkan karena ia bagian terdekat dari tatanan masyarakat, ia yang sejatinya adalah penghianat kemerdekaan.

About mpang

Arpan Parutang ...that's all..

Posted on Agustus 9, 2022, in Umum. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar